Jakarta, 20 Mei 2022. Anggota DEN dari kalangan industri Satya Widya Yudha mewakili Dewan Energi Nasional menjadi salah satu Pembicara dalam forum diskusi nasional yang diselenggarakan secara hybrid oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia dengan tema Transition to Cleaner Energy for Mobility Towards Net Zero Emission.
Satya yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Tetap Kebijakan dan Regulasi, KADIN Indonesia Bidang ESDM menyampaikan sektor terkait energi merupakan sektor penyumbang emisi terbesar di Indonesia (jika tidak mempertimbangkan sektor kehutanan dan perubahan lahan). Sumber emisi yang dominan adalah dari sektor pembangkit listrik sebesar 35 persen, sektor transportasi sebesar 27 persen, dan sektor industri sebesar 27 persen.
Lulusan Cranfield University ini juga menyampaikan hal-hal prioritas yang perlu dilakukan untuk mempercepat transisi energi adalah melakukan dekarbonisasi sektor energi, melakukan sinergi lintas stakeholder, inovasi teknologi, fokus melakukan peralihan bahan bakar dari migas ke listrik (utamanya melalui program kendaraan listrik dan kompor listrik), menyusun strategi untuk melakukan dekarbonisasi sektor-sektor yang susah untuk dimitigasi (misalnya sektor industri yang proses industrinya masih bergantung pada batubara/gas), melakukan investasi untuk pembangunan infrastruktur yang memudahkan proses transisi energi, serta menyiapkan 'soft infrastructure' untuk mendukung pendanaan transisi energi, seperti skema perdagangan karbon, skema financing, dan lain-lain.
Strategi untuk dekarbonisasi sektor energi adalah meningkatkan implementasi program yang komprehensif dan efektif sesuai dengan target Paris Agreement, mempercepat teknologi inovatif, memobilisasi pembiayaan yang cukup untuk melaksanakan program-program pemerintah, menetapkan dan menerapkan kebijakan/peraturan (UU EBT, Peraturan Presiden tentang Harga Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Berbasis EBT oleh PT. PLN, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Harmonisasi Peraturan Perpajakan termasuk pajak karbon, Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon), melaksanakan rencana aksi mitigasi di sektor energi dengan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 314,03 juta ton CO2 pada tahun 2030 (29 persen dengan usaha sendiri) melalui penggunaan energi terbarukan (170,4 juta ton CO2), konservasi energi (96,3 juta ton CO2), pembangkit energi bersih (31,8 juta ton CO2), peralihan bahan bakar (10,02 juta ton CO2), dan reklamasi pascatambang (5,46 juta ton dari CO2), meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca, tindakan mitigasi potensial lainnya adalah pengurangan industri gas, zero flaring and venting, implementasi CCS dan CCUS, serta peningkatan kendaraan listrik.
Pada tahun 2040 diperkirakan bahwa sekitar 55 persen dari total penjualan mobil dunia akan beralih ke Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Dalam rangka menekan harga jual KBLBB agar lebih kompetitif, industri baterai untuk kendaraan listrik yang terintegrasi perlu segera dibentuk. Mengingat baterai merupakan salah satu komponen pendukung utama dengan komposisi 30 sampai dengan 35 persen dari total harga jual KBLBB.
“Indonesia memiliki peluang paling besar di ASEAN untuk mengembangkan listrik ekosistem baterai untuk KBLBB dengan ketersediaan cadangan nikel (bahan baku utama baterai) yang terbesar di dunia”, jelas Satya.
Dalam kesempatan ini, Satya juga menjelaskan faktor-faktor keberhasilan dalam pengembangan ekosistem industri baterai antara lain perlu segera dilakukan optimalisasi keterpaduan pemanfaatan sumber daya dan cadangan mineral (litium, nikel, kobalt, mangan, dan aluminium) serta logam tanah jarang (monasit, grafit) termasuk peningkatan nilai tambah dan sisanya diolah secara berkelanjutan untuk mendukung industri baterai dalam negeri.
Penguasaan teknologi (misalnya Contemporary Amperex Technology Ltd dan Build Your Dreams Co. Ltd) dalam rantai nilai industri baterai, dari pemrosesan nikel, bahan prekursor dan katoda, hingga sel baterai, kemasan, sistem penyimpanan energi, dan daur ulang untuk inovasi pasar domestik dan Asia Tenggara.
Upaya yang perlu dilakukan segera menentukan jenis baterai yang akan dikembangkan (kriteria pemilihan seperti densitas energi, biaya produksi, potensi kapasitas sumber daya dan aspek keselamatan), penguatan aspek penelitian dan pengembangan (seperti teknologi transfer dan alokasi dana penelitian yang cukup besar), dan dukungan pemerintah untuk menciptakan captive market seperti pembatasan produsen baterai luar negeri dan insentif untuk industri manufaktur kendaraan listrik yang menggunakan baterai dalam negeri.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kerjasama dalam pengadaan KBLBB untuk kendaraan dinas dan transportasi umum, insentif/subsidi untuk produsen dan konsumen lokal, industri nasional terkait KBLBB, baterai, dan stasiun pengisian diberi kesempatan untuk kontrak minimal 5 tahun, peningkatan kapasitas SDM untuk menguasai komponen Internal Combustion Engine teknologi konversi menjadi listrik. Mendorong pengembangan teknologi baterai dengan konsep ekonomi sirkular. Untuk mendapatkan harga yang ekonomis, yaitu perlunya penggantian lithium impor sehingga diperlukan proses recovery lithium dari baterai bekas daur ulang untuk menjaga kelangsungan produksi.
Pria yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua Komisi VII DPR RI ini menyatakan bahwa Energy Transition Mechanism (ETM) adalah program yang akan mampu meningkatkan infrastruktur energi dan mengakselerasi transisi energi bersih menuju emisi nol bersih dengan prinsip adil dan terjangkau.
Terjangkau atau tidaknya transisi energi ini dapat dilihat dari kemampuan membayar masyarakat dan industri serta perluasan akses energi. Selain itu, hal lain yang juga harus dipertimbangkan adalah kemampuan APBN untuk mendukung transisi ini, baik dalam bentuk subsidi atau insentif, pembiayaan modal untuk energi baru dan terbarukan, transmisi, distribusi, serta penerimaan negara.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa bagi negara berkembang, transisi menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan perlu dilakukan tanpa membebani keuangan negara. Oleh sebab itu, berbagai kebijakan dirumuskan dengan memastikan pertumbuhan yang tentunya membutuhkan energi tersebut tetap ada, tetapi dilakukan secara ‘hijau’.
Untuk melakukannya, diperlukan kombinasi antara menurunkan ketergantungan terhadap pembangkit listrik bertenaga batu bara dan dalam waktu bersamaan membangun energi alternatif yang lebih hijau.
ETM merupakan suatu bentuk pembiayaan campuran (blended finance) yang dirancang untuk mempercepat penghentian pembangkit listrik bertenaga batu bara dan membuka investasi untuk energi bersih.
Carbon Pricing atau Nilai Ekonomi Karbon (NEK) merupakan 'soft infrastructure' untuk mendukung pendanaan transisi energi. NEK terdiri atas instrumen perdagangan dan non perdagangan. Instrumen perdagangan terdiri atas dua jenis, yaitu Perdagangan Ijin Emisi (Emission Trading System/ETS) dan Offset Emisi (Crediting Mechanism). Sedangkan instrumen non perdagangan terdiri atas dua jenis, yaitu Pajak atas Karbon (carbon tax) dan Result Based Payment (RBP).
Di akhir penjelasannya, Satya menegaskan komitmen KADIN sebagai net zero organization 2060 dengan telah diluncurkannya KADIN Net Zero Hub. KADIN Net Zero Hub menjadi tempat bersama untuk sharing inside, sharing information, sharing knowledge, sharing resources, sharing tools, untuk perusahaan- perusahaan, bahkan UMKM yang ingin menjadi net zero company.
“Net Zero Hub menjadi nukleus gerakan net zero bagi sektor usaha di Indonesia. Adapun langkah-langkah KADIN Net Zero Hub adalah komitmen, pra penilaian, kelompok kerja, pelatihan dengan pendekatan SBTi (Science Based Targets initiative), dan persiapan peta jalan net zero emission”, tutupnya. (Teks: MM, Infografis: MB, Editor: DE)